Wednesday, November 7, 2012

Sebuah Keniscayaan Cinta



Sebuah keniscayaan cinta
Ia hadir menentramkan, bukan menggelisahkan…
Ia hadir memukau, bukan membuat galau…
Ia hadir menguatkan, bukan melemahkan….
Ia hadir mencerahkan, bukan memburamkan…
Jika, ada cinta, semuanya jelas jadi indah…
Jika ada cinta, manusia tak senang mendebat dan melawan saudaranya…
Jika ada cinta, manusia tak akan lari menjauhi yang dicintanya…
Sebuah keniscayaan cinta
Ia dibangun berpondasikan ikhlas, bukan sikap culas…
Ia dibangun berpondasikan pemberian, bukan pencurian apalagi perampasan…
Ia dibangun berpondasikan iman, bukan nafsu yang menyesatkan….
Jika ada cinta, permusuhan tak mau mendekat…
Jika ada cinta, kesewenang-wenangan enggan melekat…
Jika ada cinta, kelalaian akan segera minggat….
Ah… sebuah keniscayaan cinta….
Yang ada hanyalah sebuah rasa alamiah yang jadi fitrahnya kita, manusia…
Allah Azza wa Jalla telah mensuratkannya dalam surat cintanya untuk manusia….
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali ‘Imran: 14)
Wajarlah, jika kita cinta kepada sesama…
Wajarlah, jika kita cinta kepada keluarga…
Wajarlah, jika kita cinta kepada harta dan kemegahan…
Sebuah keniscayaan cinta…
Ia menjadi amat niscaya ketika semua hanya mengarah pada-Nya…
Ia menjadi amat niscaya saat hanya kepada-Nya-lah Ia dilabuhkan…

Tuesday, November 6, 2012

Doaku Hari Ini

YA ALLAH ..
Jika hari ini ada kerapuhan dijiwaku,
Tegarkanlah..
Jika hari ini ada keputusasaan,
Bangkitkanlah jiwaku kembali tuk melangkah ,
Jika hari ini ada kesulitan,
Mudahkanlah semua urusanku ,
Jika hari ini ada kesedihan,
Gantilah dengan Senyuman,
Jika hari ini ada keraguan,

Yakinkan hatiku untuk tidak ragu-ragu,
Jika hari ini ada kerinduan,
Pertemukanlah aku dengannya..

Ya Rabb..
Tetap sabarkan hatiku dan kuatkan langkah ini,
Tuk tetap TEGAR serta TABAH dalam setiap Uji-Mu,
Bimbinglah aku,
Yang mendamba Ridha_Mu

Aamiin ya Rabb.

Friday, November 2, 2012

Cinta&Nikah, Siapa Pilih Yang Mana??

Ilustrasi dari Inet

Siapa pilih yg mana dari 2 madzhab ini: Aku menikahinya karena mencintainya? Atau: Aku mencintainya karena telah mencintainya?

Jadi siapa pilih yg mana: Menikahi cinta? Atau: Mencintai nikah? Yg 1 hanya nikah kalo udah cinta. Yg 2 yakin dalam nikah ada cinta

Terima kasih atas semua respon dan komen khususnya dari teman2 fb terhadap ”polling”: Siapa pilih yg mana?#cintanikah

Sebagian meminta tanggapan balik saya, juga jawaban saya sendiri: milih yg mana? Untuk itu terbitlah kultwit ini#cintanikah

Tentu saya pilih yg ke-2: mencintainya karena telah menikahinya. Karena memang itulah madzhab sekaligus fakta saya#cintanikah

Sejak sebelum nikah, bila ditanya: cinta siapa, saya jawab: cinta yg jadi istri saya. Tapi siapa dia? Ya, siapa saja!#cintanikah

Maka dulu sempat hampir mencintai seseorang, tapi harus diurungkan, karena ternyata urung berjodoh, oleh suatu sikon#cintanikah

Akhirnya cintapun, sesuai madzhab, sengaja dilabuhkan kepada yg berhak, ibu-nya anak2, ”akibat” dijodohkan, dan berkah#cintanikah

Saya tidak anti pati atau mengharamkan yg cinta dulu sebelum nikah. Karena rasa cinta-nya sendiri tidaklah haram#cintanikah

Yg berpotensi haram, adalah bagaimana proses tumbuhnya cinta itu, dan apa yg terjadi serta dilakukan dengannya#cintanikah

Tapi ketika cinta sudah dijadikan syarat nikah, seperti madzhab jumhur generasi sekarang, ini yg saya tidak terima#cintanikah

Begitu pula saat cinta telah didaulat menjadi pondasi dan pilar utama bangunan rumah tangga, menggeser agama&akhlak#cintanikah

Pengagungan sedemikian berlebihan terhadap sebuah perasaan, yg bernama cinta, benar2 tidak bisa didiamkan#cintanikah

Padahal semua tahu bahwa, hal paling labil dalam diri manusia, adalah perasaan, wabilkhusus rasa cinta beda jenis ini#cintanikah

Dari sudut syariah, bagaimana syarat cinta pra nikah ini bisa dipenuhi secara aman, syar’i dan tidak melanggar?#cintanikah

Ada 2 opsi. Pertama, cinta itu ada begitu saja secara tiba2 dan tanpa disengaja. Mungkin namanya cinta dadakan#cintanikah

Kedua, cinta itu disengaja, dicari bahkan dikejar. Dan ini yg umum terjadi. Mari jujur merenungi keduanya#cintanikah

Untuk opsi 1, sangat tidak logis hal kebetulan jadi standar. Andai bisapun, juga betapa rapuhnya pondasi seperti itu#cintanikah

Sedang untuk opsi 2, gara2 kejar-mengejar cinta pra nikah inilah, moral yg jadi pilar utama bangsa dipertaruhkan#cintanikah

Awalnya pada berdalih mencari cinta demi nikah. Tapi kini, umumnya judul cinta tak lagi terkait sama sekali dg pernikahan #cintanikah

Lalu, akibat legalisasi pacaran demi cinta semu, moralitas generasipun berada di ambang kehancuran sempurna#cintanikah

Dan maaf, saya kira penganut madzhab pensyaratan cinta sebelum nikah turut bertanggung jawab atas kondisi ini#cintanikah

Ditambah lagi, tak sedikit korban pemberlakuan madzhab cinta pra nikah, yg tak habis2 rasa kasihan saya terhadapnya#cintanikah

Seseorang sampai ”rela” menyiksa diri demi satu sosok saja yg dicinta, akunya. Padahal pilihan tak terbilang jumlahnya#cintanikah

Terus terang, dan maaf, saya hanya paham, ini sebuah kekerdilan sikap sekaligus kenaifan pilihan jalan hidup#cintanikah

Selanjutnya banyak yg ragu, bagaimana kebahagiaan dan kelanggengan hidup berumah tangga bisa digapai tanpa cinta pra nikah?#cintanikah

Namun fakta sejarah berjuta-juta pasangan langgeng nan bahagia sebelum era pacaran, memupus segala keraguan#cintanikah

Ditambah realita tak terhitung pasangan masa kini yg bahagia dan langgeng dalam pernikahan mereka tanpa pacaran#cintanikah

Jika mereka semuanya bisa, mengapa banyak generasi jaman ini tetap bersikukuh tidak bisa dan tidak mungkin?#cintanikah

Inti masalahnya, tiada lain, memang pada telah teracuninya otak, pikiran dan persepsi. Ini yg harus dipulihkan kembali#cintanikah

Maka jika ada yg menolak dijodohkan dg dalih tidak bisa nikah tanpa cinta, juga semata gara2 masalah ”keracunan” ini#cintanikah

Termasuk yg telah berjodoh, tapi mengaku tidak bisa mencintai pasangannya. Padahal bisa punya anak sampai 5 bahkan lebih#cintanikah

Yg lain kadhung jatuh cinta katanya, namun tidak berjodoh, dan mengaku tidak bisa lepas dari cinta tak sampai-nya itu#cintanikah

Nah, untuk semua yg serba ”tidak bisa” itu, hakekatnya bukanlah benar2 ”tidak bisa”, melainkan hanya gara2 ”tidak mau”#cintanikah

Karena terbukti yg mau ternyata bisa. Bisa mencintai pasangan yg dijodohkan. Bisa pula melepas cinta yg tak berjodoh#cintanikah

Sebagai penutup, banyak yg bilang, cinta ’kan tak bisa dipaksakan? Benar, tapi cinta bisa diwajibkan! Dan itu lebih berkah#cintanikah

Akhirnya, maaf teman2, bila ada yg tak berkenan. Ini atas rasa tanggung jawab agama, moral, sosial dan bangsa. Wassalam#cintanikah

 

Oleh:
Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

Ingin Dipahami?? Pahamilah Orang Lain!!


Dalam fikih interaksi dan hubungan sosial, sikap saling memahami antar sesama adalah sebuah keniscayaan. Disamping wajib memahami orang lain, tentu saja setiap kita juga ingin dan suka bila dipahami oleh orang lain. Nah, jika ingin dipahami, maka masing-masing kita berkewajiban untuk membantu orang lain agar mudah memahaminya. Dan itu tak lain dengan menjadika
n dirinya sebagai pribadi yang memang mudah untuk dipahami dengan baik oleh siapapun.
Sungguh merupakan sebuah egoisme terburuk dan kenaifan paling tak logis, saat seseorang hanya asyik dengan alam pikiran dan pola pikirnya sendiri saja, serta abai dan tak peduli terhadap alam pikiran atau pola pikir orang lain. Karena dengan demikian, berarti ia telah menjadikan dirinya sebuah pribadi yang paing sulit untuk dipahami. Dan tentu itu sangat kontradiktif dengan keinginannya untuk selalu dipahami.
Maka cara terbaik agar mudah dipahami, adalah justru dengan membiasakan diri memahami orang lain dan berpikir sesuai dengan pola pikir mereka. Ketika kita telah terbiasa dengan pola pikir logis seperti itu, maka akan tiba saatnya dimana orang lain tidak hanya mudah memahami alur pikiran kita dan menerima setiap buahnya, melainkan mereka justru selalu menunggu-nunggunya dengan penuh antusias, dan berterima kasih karena telah dibantu berpikir, serta menganggap setiap pemikiran kita itu sebenarnya adalah pemikiran mereka pula!

5 Indikator Kebahagiaan Kita

Saudaraku…
Semua orang mendamba kebahagiaan hidup. Apapun jabatan yang disandangnya. Apapun profesi yang digelutinya. Apapun status sosialnya dan levelnya. Berapa usia dan jenis kelaminnya. Dan seterusnya.
Namun terkadang kebahagiaan itu semakin dikejar, justru semakin menjauh dari kehidupan kita. Karena kebahagiaan bathin tak bisa dibeli dengan harta dunia, intan permata, emas dan mutiara. Dan bahkan tak mungkin ditukar dengan seluruh kekayaan seisi perut bumi ini.
Tiada garansi, orang yang bergaji 20 ribu dolar atau 30 ribu real, lebih bahagia daripada mereka yang bergaji 200 dolar atau 600 real perbulan. Tiada jaminan, orang yang memiliki jabatan bergengsi, lebih bahagia daripada orang yang menggarap lahan sawah ladang milik orang lain. Dan jangan pernah kita mengira bahwa orang yang bekerja sebagai buruh bangunan dan yang seirama dengan itu, tiada pernah mengecap kebahagiaan?.
Fakta berbicara, tidak sedikit pejabat yang stres saat masa jabatannya hampir berakhir. Banyak orang kaya raya yang linglung, karena memiliki anak keturunan yang selalu menghitamkan wajah orang tua. Dan mungkin ada pengusaha sukses yang terpaksa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri lantaran istri pujaan hatinya selingkuh dengan mantan pacarnya. Dan seterusnya.
Kebahagiaan itu erat hubungannya dengan hati kita. Ia sangat dekat dengan iman yang subur. Hati yang bersyukur. Lisan yang selalu basah dengan zikir. Mata dan akal yang bertafakkur.
Apakah kita termasuk orang yang telah berbahagia di dunia ini? Bisa iya bisa juga tidak. Apa indikator kebahagiaan kita?. Mari kita cerna parameter kebahagiaan hidup menurut menantu Rasulullah saw; yaitu Ali bin Abi Thalib ra.
Saudaraku..
Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata, “Indikator kebahagiaan seseorang ada 5 perkara:
• An takuna zaujatuhu muwafiqah (memiliki pendamping hidup yang taat).
• Auladuhu abraran (mempunyai anak-anak yang berbakti).
• Ikhwanuhu atqiya’ (dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa).
• Jiranuhu shalihin (hidup di tengah tetangga-tetangga yang shalih).
• Wa rizquhu fii baladihi (memiliki sumber penghasilan tetap di negeri sendiri).
(mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad Al Syami).
Saudaraku..
Kita selaku suami, model apapun, hati kita teramat mekar dan berbunga-bunga jika memiliki bidadari yang taat kepada Allah, rasulnya dan mentaati kita. Seolah-olah surga dunia telah menjadi milik kita. Walaupun kita hidup di tempat yang sepi dari keramaian. Meskipun kita tinggal di rumah gubuk yang reot. Walaupun kita hanya memiliki kendaraan sepeda model 70-an.
Istri yang taat, akan setia menemani kita apapun cuaca buruk di luar sana; mendung, berawan, gelap, bersalju, terik, hujan, petir, angin kencang dan bahkan gempa dan tsunami sekalipun.
Ia tetap setia walaupun kemiskinan mendera kita. Sakit menggelayut di badan kita. Kegagalan sering menyapa kita. Dan walaupun kita harus hidup di lubang buaya sekalipun.
Kehadirannya di sisi, membantu kita taat kepada Allah. Membuat kita qana’ah dengan pemberian-Nya. Tetap tenang menyisiri hari-hari kita. Walaupun gelombang hebat menerpa. Gempa menerjang. Dan topan menghantam rumah tangga kita.
Itulah istri shalihah, yang merupakan perhiasan dunia terindah yang kita punya. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah.” H.R; Muslim dan Nasa’i.
Saudaraku..
Anak keturunan bisa mengangkat atau menjatuhkan martabat orang tua di dunia dan akherat.
Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan orang tua jika memiliki anak-anak yang shalih, berprestasi di sekolah, dikenal kebaikannya di tempat kerja dan masyarakat, memiliki hafalan al Qur’an dan hadits yang tidak sedikit. Bukankah nama orang tua juga menjadi harum?. Walaupun orang tuanya, adalah orang biasa.
Sebaliknya, nama baik orang tua menjadi tercoreng, jika memiliki anak-anak yang buruk perangainya, ringkih kepribadiannya, lemah prestasinya di sekolah dan seterusnya. Orang tua akan tersiksa karenanya. Meskipun orang tua memiliki kedudukan dan tempat yang luas di masyarakatnya.
Maka biasanya kita selaku orang tua, akan mengeluarkan biaya seberapapun besarnya untuk membiayai pendidikan anak-anak kita, selama ada jaminan mereka menjadi shalih, berbakti, berprestasi dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat.
Anak-anak yang shalih dan berbakti, merupakan investasi terbesar milik kita. Untuk dunia dan akherat kita.
Saudaraku..
Hidup dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa, merupakan harapan kita insan beriman. Yang akan memperindah dan mencerahkan langit-langit hati kita. Karena mereka akan selalu menularkan warna ketakwaannya kepada kita. Tulus dan ikhlas dalam bersahabat, tak pernah mengharap pamrih dari kebaikannya.
Kehadiran mereka dalam hidup, membuat kita bangkit dari keterpurukan. Merasa kaya dalam kekurangan. Merasa sehat walau sakit mendera tubuh. Mampu tersenyum dalam keperihan kita. Rela dalam menjalani hidup. Semangat dalam berjuang. Dan kuat dalam kepribadian.
Saudaraku..
Hidup di tengah-tengah tetangga yang tidak berbudi pekerti mulia, seperti menggenggam bara api. Kesejukan dan kedamaian hidup sirna. Jiwa resah dan hati diselimuti kecemasan.
Jika kita memiliki kekayaan, jabatan, kekuatan dan senada dengan itu. Mereka akan merongrong kita. Sebaliknya jika kita lemah, miskin dan tak mampu, maka kita akan dilindas, ditindas dan direndahkannya.
Wajar, jika Nabi saw mengelompokan orang yang sering menagganggu tetangganya sebagai orang yang tiada memiliki keimanan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, makan janganlah ia mengganggu tetangganya.” H.R; Bukhari.
Saudaraku..
Sungguh indah, jika kita memiliki income tetap di negeri sendiri tak perlu merantau ke tempat lain apalagi ke luar negeri. Tiada kebahagiaan yang lebih besar kita rasakan daripada berkumpul bersama anak dan istri kita serta kita mampu menafkahi keluarga dari sumber rezki yang halal dan tahyyib.
Banyak kasus yang membukakan mata kita bahwa berjauhan dengan keluarga dengan alasan mengais rezki dan memahat masa depan keluarga, ternyata resikonya tidak ringan. Sering terjadi kesalahpahaman antar pasutri. Anak-anak yang merasa tidak mendapat curahan kasih sayang dari orang tua. Pengawasan terhadap anak-anak menjadi lemah. Pendidikan anak-anak kurang mendapat perhatian yang cukup dan seterusnya.
Terlebih kebutuhan asasi pasutri, yakni nafkah bathin menjadi tersendat. Padahal kepuasan pasutri di tempat tidur merupakan separoh dari kunci keharmonisan rumah tangga. Hal ini yang terkadang memicu suami mengambil teman tapi mesra dan istri memiliki PIL, pria idaman lain. Na’udzu billah min zalik. Terlebih ketika pasutri tak merawat dengan baik iman yang ada dalam hatinya.
Maka, berpenghasilan yang halal dan thayyib di negeri sendiri. Berkumpul dengan keluarga, sanak saudara dan kerabat membuat hidup kita terasa berpelangi. Kenyamanan dan keamanan bathin membuncah memenuhi ruang hati kita.
Saudaraku..
Mudah-mudahan 5 indikator kebahagiaan hidup ini telah kita miliki di dunia. Dan menjadi inspirasi bagi kita untuk meraihnya di akherat sana. Amien.

Bersyukurlah, Pasti Nikmat Bertambah

Minimal ada dua faktor penentu utama kelas dan level syukur seseorang
Pertama, jenis dan tingkat kenikmatan apa yang lebih banyak diingat dan lebih sering disyukuri?
Kedua, dalam bentuk dan dengan cara apa saja syukur dibuktikan dan diekspresikan?
Maka syukur level tinggi adalah syukur terhadap jenis-jenis kenikmatan tingkat tinggi juga
Disamping ia adalah syukur yang dibuktikan dengan kualitas bukti syukur yang lebih tinggi dan juga kuantitas ekspresi syukur yang lebih banyak macamnya
Sebaliknya, syukur level rendah, adalah karena yang lebih banyak diingat dan disyukuri hanyalah jenis dan bentuk kenikmatan “kelas rendah”
Begitu pula, syukur ditunjukkan dengan kualitas yang rendah, dan kuantitas yang sedikit
Sementara itu, secara global, jenis kenikmatan bisa diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan
Tingkat pertama, tingkat terendah, berupa kenikmatan materi duniawi yang bukan termasuk hajat hidup vital dan asasi, serta yang juga biasanya memiliki banyak opsi pilihan. Misanya seperti: nikmat harta dengan segala jenis dan macamnya, pekerjaan, jabatan, kedudukan, kesuksesan materi dan pilihan-pilihan kebutuhan hidup yang lainnya.
Tingkat kedua, tingkat pertengahan, adalah kenikmatan-kenikmatan yang merupakan kebutuhan-kebutuhan hidup yang bersifat vital dan sangat asasi. Seperti misalnya: nikmat hidup itu sendiri, nikmat umur, nikmat waktu, nikmat nafas, nikmat detak jantung, nikmat kelengkapan dan kesehatan fisik seperti panca indera, dan lain-lain.
Tingkat ketiga, tingkat puncak tertinggi, berupa kenikmatan-kenikmatan sejati dan hakiki. Yakni nikmat hidayah, nikmat iman, nikmat islam, nikmat ketaatan, nikmat ibadah, nikmat amal saleh, nikmat dakwah, dan seterusnya.
Nah, jika direnungkan dan dievaluasi, ternyata syukur kebanyakan kita masih berkelas “rendahan”. Hal itu antara lain, karena bentuk dan jenis kenikmatan yang lebih banyak diingat dan lebih sering disyukuri, barulah kenikmatan-kenikmatan dalam kategori tingkat pertama diatas, yang memang merupakan tingkat terendah. Bahkan persepsi kebanyakan manusia tentang kenikmatan, selalu tertuju dan teralamatkan kepada jenis-jenis kenikmatan materi duniawi ini.
Tentu saja kita tidak mengingkari bahwa, itu semua juga merupakan kenikmatan Allah yang wajib disyukuri. Jadi yang jadi masalah dan salah, bukanlah sikap mengingat dan mensyukuri kenikmatan-kenikmatan materi itu. Tidak sama sekali. Itu sudah benar, dan memang harus begitu. Setiap kenikmatan, sekecil dan serendah apapun, wajib tetap kita ingat dan syukuri!
Namun yang salah dan jadi masalah, adalah terabaikan, terlalaikan dan terlupakannya kenikmatan-kenikmatan pada tingkat yang lebih tinggi. Baik yang berada di tingkat kedua diatas, maupun bahkan yang di tingkat puncak, yang merupakan kenikmatan hakiki tak ternilai. Dan karena tidak diingat, maka tentu berarti juga tidak disyukuri. Sedangkan sikap tidak mensyukuri kenikmatan, dalam bahasa Al-Qur’an, sama dengan mengkufurinya. Disinilah perbandingat itu menjadi berat, sulit dan sangat timpang. Dimana sikap syukur akan kenikmatan-kenimatan materi duniawi yang berada di tingkat rendah di satu sisi, harus dibandingkan dan dihadapkan dengan sikap kufur terhadap kenikmatan-kenikmatan lain yang justru merupakan kenikmatan-kenikmatan yang jauh lebih inggi tingkat dan nilainya, lebih-lebih kenikmatan-kenikmatan hakiki yang berada di tingkat puncak!
Nah, jika demikian fakta dan reaalita syukur kita selama ini, bukankah yang paling kita butuhkan saat ini dan seterusnya, adalah upaya-upaya muhasabah, evaluasi dan introspeksi diri, agar meningkat dan bertambah level syukur di hati?
Maka, dalam rangka muhasabah, evaluasi dan introspeksi diri tersebut, mari banyak-banyak bertanya kepada diri sendiri, misalnya, seberapa sering selama ini kita berucap al-hamdulillah demi mengingat dan menyadari betapa tak ternilainya nikmat hidup, nikmat umur, nikmat nafas, nikmat detak jantung, nikmat kelengkapan dan kesehatan indera, dan seterusnya?
Demikian pula mari jujur pada diri sendiri dan bertanya lagi misalnya, dalam hari-hari kita sebelum ini, seberapa banyak kita selalu mengingat, menyadari dan mensyukuri kenikmatan-kenikmatan puncak dan hakiki: nikmat hidayah, nikmat iman, nikmat Islam, nikmat ibadah, nikmat amal saleh, dan lain-lain?
Bukankah kita justru lebih banyak mengabaikan, melalaikan dan melupakan kenikmatan-kenikmatan sejati dan hakiki yang tak terhingga nilainya itu?
Sekadar sebagai contoh, saat seseorang dari kita berbuka puasa misalnya, dimana berdasarkan sunnah dan realita, itu merupakan momen kegembiraan, kebahagiaan dan kesyukuran seorang muslim, biasanya hal apa yang lebih membuat yang bersangkutan bergembira, berbahagia dan bersukur saat itu? Adakah ia lebih gembira dan bahagia demi mengingat dan mensyukuri luar biasanya nikmat ibadah puasa yang baru saja sukses ditunaikannya sehari penuh? Ataukah lezatnya hidangan berbuka-lah yang lebih ia ingat dan syukuri?
Jadi, bukankah kita perlu senantiasa memuhasabahi dan mengevalusi level syukur kita?